by: Rosa.
No Words
15/9/14
Matanya indah.
Berputar-putar, hitam, mengandung makna, mengandung rasa.
Matanya indah, mabuk terpekur di dalamnya. Tak bisa keluar, terjaring ke dalam.
Mungkin ini yang terakhir aku terbuai.
Esoknya dia datang lagi. Rambut berantakan, kalung
berbandul motif aneh seperti kudeta atau apalah, anting hitam, jeans robek dibagian tulang keringnya,
jaket baseball gelapnya, sekaligus
topi yang menutupi surai-surainya.
Ia memegang lenganku. Tapi suaranya tak pernah terpatri
lagi di indra pendengaranku. Aku menatapnya, matanya bening dan sejernih air sungai,
seolah di dalamnya ada ruang untuk mengeksplorasi apa yang dirasakannya. Aku
menatapnya, dan ia tersenyum. Kukira yang kemarin itu terakhir aku terbuai,
tapi hari ini aku jatuh dan jatuh lagi, bahkan mungkin lebih dalam dibanding
sebelumnya.
“Hai, bagaimana kabarmu?” tanyaku. Ia mengangguk saja,
bersirat baik-baik saja, tetap mengalah saja. Aku menghela nafas, menatap
langit biru di matanya.
Matanya
indah, tapi ia menunduk, air menggenang di pelupuknya. Untuk yang kesekian
kalinya, tanganku meraih dirinya. Menempatkannya dalam pelukanku, menepuk
punggungnya agar ia tak terisak tanpa suara.
I can’t speak, why are you so
caring to me? Bless you, love.
It’s all nevermind. If you can’t
speak, so just listen all the love that i give to you.
-x-
—END—
No comments:
Post a Comment