by: Ayyi.
So Wrong, It’s Right
14/9/14
Orang
yang aku cintai berada di hadapanku sekarang, haruskah aku tersenyum padanya?
Ataukah aku harus mendekapnya agar ia mengerti bahwa aku mencintainya? Ataukah
aku harus berlalu dan membiarkan ia tercengang melihat langkahku?
Jika
aku mengejarnya, bagaimana jika aku terjatuh? Jika aku berlalu, bagimana jika
aku menyesal? Lalu, jika aku meraih sepasang tangan indah itu, bagaimana jika
aku keras kepala dan tidak ingin melepaskannya? Meskipun ia berkata tidak,
haruskah aku memaksa berkata iya?
Aku
tidak pernah berharap untuk hariku padanya. Asalkan ia ada dan aku dapat
menatap maniknya, itu sudah cukup bagiku. Ketika malam datang, dan ketika sinar
senja meredup, aku teringat pada ujung bibirnya yang tertarik; tersenyum.
Tersenyum?
Ketika
aku menatap manik indahnya untuk yang kesekian kali, aku tersadar; cinta itu
memang seperti mimpi, namun kisah di luar buku dongeng adalah kenyataan.
Beginikah
rasanya mimpi itu?
Banyak
orang mengatakan bahwa cinta itu ada tingkatannya. Ada yang mengatakan,
tertarik, suka, mencintai itu berbeda. Tapi aku berpikir bahwa itu hanya bualan
saja, karena aku pikir, jika kau tertarik, maka kau akan menyukainya, dan
berakhir mencintai. Cinta itu hanya satu, dan tidak ada tingkatannya, jika
masih ada orang yang mengatakan bahwa cinta bukan seperti itu, maka dia bodoh.
Cinta
itu sebenarnya bagaikan kotak pandora yang menyimpan kegilaan di balik setiap
bisikan manis dan rasa berdebar-debar yang menyenangkan.
Pagi
yang datang untuk kesekian kalinya, dan aku menatap langit yang sama, dengan
cuaca yang membosankan, hanya ada awan yang menutupi lautan di atas sana, dan
aku bertanya-tanya, apakah buliran air akan datang?
Ketika
aku mendesah dan berpaling dari langit, aku melihatnya; orang yang aku cintai
berdiri tidak jauh dari posisiku menapak tanah, ia tersenyum dan mulai
menghampiriku. Aku hanya terdiam, dan ketika ia berada tepat di hadapanku, ia
mengucapkan kalimat itu, kalimat yang tidak pernah aku harapkan untuk keluar
dari bibirnya, karena kembali lagi, dengan melihatnya aku pikir itu sudah
cukup.
“Love is something you need to tell and
people need to hear.”
Aku
masih berpikir bahwa senyum dan kalimatnya itu adalah kesalahan yang begitu,
namun, ketika aku merasakan kehangatan pada pergelangan tanganku, merembet pada
jemari, dan terasa hingga hatiku, maka pada saat itu aku sadar, meskipun terasa
sebagai sebuah kesalahan, namun kenyataan mengatakan kebenaran.
Genggaman
tangannya mengerat, dan aku mendongak menatapnya.
Dengan
menganggap bahwa warna apa saja cocok, tanpa menyadari bahwa ada warna-warna
tertentu yang justru tidak pas untukmu, adalah kesalahan besar. Maka, aku
menjawab;
“Then, I love you.”
Haruskah
aku tersenyum padanya? Ataukah aku harus mendekapnya agar ia mengerti bahwa aku
mencintainya? Ataukah aku harus berlalu dan membiarkan ia tercengang melihat
langkahku?
Dan
aku memilih untuk mendekapannya, karena aku ingin ia tahu, seberapa besar aku
mencintainya.
—END—
No comments:
Post a Comment